Derby Dinda Vs H.Syafru, Sebuah catatan politik akhir tahun

*Ashar S Yaman
Ketua Dewan Pakar Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Bima Raya


Bima,Kabaroposisi.Com--Dalam sepakbola Italia Derby itu istilah untuk pertandingan 2 tim yang berada dikota yang sama, seperti Roma dan Lazio atau Juventus-Torino, pertandingan politik kekuasaan Dinda vs Syafru disebut Derbi karena sama-sama mengklaim mewakili satu entitas politik yang bernama SILA, meski domisili kedua kandidat ini dikota Bima.

Sebagaimana sebuah pertandingan Derbi, perang psikologis tim dan suporter terus terjadi, target penjualan tiket, mercandise dan jersie, tujuannya mengekploitasi keuntungan dengan maximal dalam sebuah event, militansi suporter dan tim dipompa, saling mengejek dan buli diantara kedua tim dan suporter menjadi pemandangan biasa dan lajim terjadi menjelang laga derbi.

Menjelang Pilkada Bima, kedua bakal calon Bupati ini, masih mengukur elektabilitas dirinya dan calon pasangan, sebagai syarat mereka maju dalam Kontestasi sekelas pilkada, perang sosial media dan opini dalam media-media lokal terus terjadi, semua alat ukur dan instrumen politik untuk membentuk dan menggiring opini publik dikerahkan, tentu untuk mengukur respon publik terhadap kedua bakal calon Bupati ini.

Dinda masih dengan jurus lama, menggunakan Dae Feri (almarhum) sebagai personifikasi politik yang terafiliasi dengan dirinya dan klan istana, ulang tahun Kematian Dae Feri, viral disosial media dan media elektronik lokal, itu menunjukan bahwa Dinda sedang galau dengan elektabilitas dirinya, maka ia butuh kartu untuk menaikan elektabiltas, kartu itu bernama Dae Fery, mungkin bagi sebagian masarakat politik peristiwa ulang tahun Kematian Dae Feri tidak bisa dipisahkan dari peristiwa politik yang akan helat 2020, karena sebelum ini kematian tidak pernah dirayakan seheboh dan seviral ini, satu perayaan politik, menghidupkan kembali yang sudah mati untuk kepentingan narasi politik calon petahana, yang sedang galau dengan soal elektabilitas.

Sementara itu H.Syafru lewat tim dan pendukungnya masih sibuk dengan narasi atas fakta Jembatan lewamori, bibit jagung dan banjir, tentu tujuannya untuk mendelegitimasi kepercayaan publik terhadap kinerja Dinda sebagai Bupati yang tengah menjabat, Agitasi politik dibangun untuk sekedar menjustifikasi bahwa yang harus bertanggung jawab atas segala soal yang tengah terjadi adalah bupati dan wakil bupati yang kini menjabat, namun disisi lain H.Syafru dan Tim harus juga berhadapan dengan buzer dan pendukung istana yang tidak kalah garang untuk menjawab semua tudingan yang mengarah ke istana sebagai satu-satunya yang bisa disalahkan dalam hal kinerja pemerintah.

Namun sangatlah disayangkan dalam perang psikologi tim kedua kubu ini tidak ada satupun narasi yang dibentuk dalam melakukan pendidikan politik, sampai sejauh ini kedua kubu masih jauh dari perdebatan yang visioner, belum ada tim dan pendukung yang bicara visi calon pemimpin daerah, sehingga perdebatan kedua kubu hanya sekedar Gosip murahan, hanya mengeksploitasi berita viral Tanpa kemampuan membangun konsepsi yang sifatnya visioner sebagai dasar gagasan perjuangan politik.

Sejauh ini, telunjuk oposisi masih menuding soal Dinda sering perjalanan dinas yang menghabiskan APBD, masih seputar ekploitasi isu-isu moralitas murahan yang bisa dikategorikan sebagai black Champaign, pembunuhan karakter terhadap calon petahana, sebenarnya publik sangat merindukan gebrakan oposisi dan calon penantang Dinda menyentuh soal-soal substansi, kinerja dan prestasi, sukses atau gagal Dinda memegang mandat 5 tahun kepemimpinan, dengan evaluasi formal parlementer atau evaluasi ekstra parlementer.

Menjadi harapan setiap masarakat, pilkada 2020 akan menghasilkan pemimpin visioner, sebagai antithesa dari politik dan kuasa identitas klan istana yang sudah terjadi dalam 15 tahun terakhir, setidaknya calon bupati harus menjawab "Kau akan melakukan apa untuk Kabupaten Bima, jika terpilih jadi Bupati?"(Opini)

No comments

Powered by Blogger.