Petahana tidak Bisa Lagi bersandar Pada Mistifikasi dan Romantisme politik Istana!
*Ashar S Yaman
Ketua Dewan Pakar Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) Bima Raya
Bima,Kabaroposisi.Com--Ada perbedaan yang cukup dalam antara IDP dan almarhum Dae Fery. Setidaknya ini tidak disadari oleh pendukung petahana atau mungkin pendukung dan loyalis istana menganggap bahwa persepsi publik atas Figur Dae Fery sama dengan cara publikmenempatkan IDP dibenak mereka.
Mungkin anda keliru membaca DNA Politik dalam 15 tahun terakhir, legitimasi rakyat atas Dae Fery itu terjadi secara alamiah, tidak dibuat -buat karena Dae Fery memiliki trah raja. Kekuatan Dae ada pada romantisme, sejarah masa lampau yang sama, kedigdayaan dan legitimasi kaula yang begitu kuat, dekat dengan rakyat secara emosional, memutus jarak perbedaan kelas dan derajat, Dae Fery dicintai karena wataknya yang egaliter.
Petahana berharap Tuah politik Dae, akan jatuh kepada dirinya berulang seperti pilkada 2015, Segala cara dilakukan agar tuah itu kembali,menghidupkan narasi Dae, membentuk semacam simposium simbolik, perayaan Haul Dae Fery yang gegap Gempita, agar tuah itu kembali berpihak. Egalitarianisme Dae Feri justru berbanding terbalik dengan petahana yang elitis, glamour dan sedikit menyombongkan dominasi klannya sebagai pemegang kendali narasi, semakin di upayakan Tuah politik dikunjung hadir, justru masarakat arus bawah mulai berjarak, istana yang selama ini dianggap tak berjarak dengan Sudra, menjadi asing, sulit dijangkau, bahkan dalam imajinasi Sudra sekalipun.
Mistifikasi politik Dae Fery, mungkin hanya akan berulang jika Yandi yang maju mewakili Istana, karena Dae Fery dan Yandi sama-sama memiliki trah raja, ia tidak perlu memohon legitimasi, beda halnya dengan petahana, memang ia istri Dae, tetapi ia sudah mendapat akumulasi kuasa dipilkada sebelumnya, Mistifikasi politik hanya bisa terjadi oleh mereka yang punya trah raja.
Romantisme politik istana terbukti sakti, mendulang kemenangan keluarga istana selama 3 kali pilkada, masa lalu dihadirkan kembali dalam imajinasi publik, kerinduan massa pada leluhur dan sultan-sultan seolah bertemu pada satu momentum, didalam satu tubuh politik "Dae Feri"
Kita terlalu berandai-andai, bahwa tuah itu akan kembali menjadi milik petahana di 2020?. sugesti politik istana mulai memudar, karisma dan tuah Dae Fery mulai menjauh, berbanding lurus dengan naiknya angka kelas menengah dikabupaten Bima, rasionalitas kelas tertididik baru terhadap relasi politik dan distribusi kepentingan kelas menengah yang mandek, dan setumpuk soal sosial dan ekonomi yang tidak jua berujung keperpihakan pada kelas menengah.
Berkurangnya Tuah politik Dae Feri, minimal dipertegas oleh beberapa hal; Pertama Petahana bukan Dae Feri, juga tidak memiliki trah raja, kedua politik pemenangan Yandi dalam pileg 2019 bukan didapat secara gratis, ketiga petahana tidak memiliki karisma bawaan seperti yang dimiliki oleh mantan.
Jika petahana beranggapan bahwa modal politik istana menjadi satu-satunya alasan ia menang pada pilkada sebelumnya dan berharap terulang 2020, petahana keliru, petahana harus mampu keluar dari bayang-bayang istana dan tuah mistik Dae Fery, namun sudah terlambat, pemilu tinggal 8 bulan, tidak cukup waktu petahana membentuk persepsi publik dan melakukan branding politik, bahwa Ia adalah IDP, Bupati Bima, Maju sebagai calon Bupati dengan dasar kualitas dan kualifikasi Pribadinya, bukan karena tuah dan mistifikasi politik Mantan Suaminya.
Apalah arti menjadi pemimpin jika hanya berada dalam bayang-bayang, Tuah politik Dae Fery hanya bisa digunakan sebagai pemersatu imajinasi publik, tidak bisa lagi dijadikan modal politik, masarakat memiliki banyak preverensi memilih calon pemimpin, mungkin istana dalam pilkada 2020 hanya ditempatkan di reverensi terakhir dalam benak publik, kenapa? Jaman berubah, kebutuhan massa akan pemimpinnya juga berubah, berjuanglah sebagai dirimu sendiri!(***)
No comments