Kedigjayaan IDP Kian Memudar, Pengaruh “Mistik Istana” Tak Lagi Mempan

Foto: Joni Junaidi
Bima,KABAROPOSISI.Com--Sebelum masuk pada persoalan inti, penulis mengirimkan Surah Al-Fatihah untuk Almarhum H. Ferry Zulkarnaen (Mantan Bupati Bima) semoga beliau tenang di alam sana, Amin YRA.
Walau menggenggam sederet kontroversi yang menyelimutinya, tak dapat di pungkiri kalau sosok Hj. Indah Damayanti Putri (IDP) sangat pintar dan lihai membaca dan menggunakan Momentum. Kepiawaiannya memanfaatkan empati, rasa iba yang mengalir deras dari masyarakat Kabupaten Bima pasca wafatnya mendiang suaminya, H.Ferry Zulkarnain yang kala itu menjabat sebagai Bupati Bima. Dengan desain yang rapi berbalut derai air mata yang ia tunjukan dihadapan publik, mampu menghipnotis dan membius para pemilih untuk mendukung dan memilihnya sebagai Bupati Bima waktu Pilkada 2014 silam.

IDP sadar betul, animo masyarakat Bima terutama yang berada di wilayah pesisir masih kuat “Mengkultuskan” Trah keturunan Istana sebagai ras Superior,  dianggap sebagai keturuan Ncuhi ( Manusia Setengah Dewa) seperti yang tertulis dalam kitab BO. Sebuah pandangan kuno yang syarat kesesatan dan bertentangan dengan nilai ajaran Islam itu sendiri.

Kesan Mistik yang dibalut rapi tersebut, adalah buah pikiran serta sala-satu strategi yang di ciptakan oleh para Konseptor Ulung (MasterMind) yang berada dalam lingkaran Istana. Dengan tujuan melanggengkan kekuasaan “Darah Biru” penganut paham Feodal.

Seiring berjalannya waktu, IDP mulai menampakan watak aslinya. Berbagai manuver serta kebijakan di roda pemerintahan yanv ia jalankan, terkesan tidak berpihak pada rakyat Bima. Tingkat kemiskinan dan pengangguran terus menanjak naik, berbagai pembangunan dan pengerjaan proyek strategis yang bersumber dari dana APBN/APBD dengan mata anggaran yang bernilai fantastik di kerjakan asal-asalan dan “Beraroma Korupsi”, serta tindakan Nepotisme yang ia lakukan dengan memilih dan menempatkan orang-orang dekat atau keluarganya pada jabatan penting di SKPD Lingkup Pemda Bima.

Sala-satu bentuk Nepotisme amat menonjol yang IDP perlihatkan, adalah usaha mati-matiannya  untuk meloloskan putra kandungnya Fery Yandi menjadi anggota DPRD Kabupaten Bima pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 lalu, serta ajang pembuktian akan kuatnya “Cengkraman” politik yang ia miliki, sehingga Putra Mahkota didaulat menjadi ketua dewan di gedung parlemen.

Kuatnya hasrat “Haus Kekuasaan” dari diri IDP, begitu kental tercium dikala Yandi maju di Pileg 2019. Penggiringan Aparatur Sipil Negara (ASN) mulai dari tenaga guru ditiap sekolah, Pegawai UPTD, dan sejumlah Pejabat Elit lingkup Dinas di Pemda Bima yang tinggal dan berdomisili di Kecamatan Bolo dan Madapangga sebagai Daerah Pemilihan (Dapil) tempat Yandi bertarung. Suasana gaduh serta sorotan akan isu netralitas ASN yang condong mengkampanyekan figur Yandi ramai diperbincangkan. Namun apa mau dikata, Panitia Penyelenggara Pemilu dan Pihak Pengawas seolah tak memiliki taring, akibat kuatnya ekspansi kekuasaan. Bisa jadi, sejumlah pemain kunci di lembaga yang dibiayai dan digaji dengan anggaran negara tersebut berada dibawah ketiak IDP, Wallahualam Bissawab.

Selain diback-Up secara masiv oleh para ASN, guyuran pundi-pundi finansial pun sangat besar (tak terbatas) sebagai kos politik dalam memenangkan “Putra Mahkota”. Singkat kata, apapun akan dilakukan demi ambisi terselubung dari Sang Ratu. “Jika putranya Yandi lolos sebagai anggota dewan, maka peluang untuk menjadikannya calon Bupati Bima usai ia selesai masa memerintah, kian terbuka lebar. Sebuah naluri politik Dinasti yang kian parah.

Prestasi Prestisius yang disandang seorang Yandi rupanya tidak di dukung oleh kemampuan Intelektual yang mumpuni dan kecakapan politik yang memadai. “Jam terbang yang minim di gelanggang politik membuat Yandi kaku, menciptakan efek piskologis bagi dirinya, baik saat memimpin sidang Paripurna, ataupun saat rapat terbatas dengan rekan-rekannya yang ada di gedung Parlemen.

Kita semua tahu, yang duduk sebagai wakil rakyat di DPRD kabupaten Bima sebagian besar adalah Macan Macan Podium yang memiliki naluri politik yang kuat dan kecerdasan yang tinggi. “Walau akhir-akhir ini, publik dibuat kecewa akan “Rontoknya Taring” para wakil rakyat yang kerap membela kebijakan penguasa, padahal mereka sadar, kalau hal itu bertentangan dengan kehendak rakyat dan nurani mereka sendiri. Sebagai wartawan yang pernah dan lama bertugas meliput di gedung Udayana di Mataram, penulis ingin mengatakan kalau rumah rakyat seperti halnya di DPRD Kabupaten Bima adalah metafora dan jelmaan lahirnya aktor dan aktris politik bermain Sandiwara. Jika kepentingan berupa dana Aspirasi (Pokir) mereka diloloskan, tak di ganggu pemerintah yang berkuasa, maka mereka akan diam mengikuti irama Eksekutif, sebaliknya jika dana Pokir mereka terkesan sedikit ataupun diganggu, maka suara lantang dari mereka akan menggema layaknya Singa. Walau tak semua anggota dewan berkarakter seperti itu, masih banyak wakil rakyat yang pro dan tulus membela kepentingan konstituennya.


Di perhelatan Pilkada Bima yang tak lama lagi akan di gelar, semangat rakyat kian menggebu dan menggelora. Seolah mereka ingin Merebut kembali “Tongkat Komando” yang selama masa pemerintahan IDP-Dahlan telah disalahgunakan.  Dianggap gagal menahkodai daerah serta menurunkan Marwah Kejayaan dari Bima itu sendiri.

Yel-yel yang menghendaki akan adanya sebuah perubahan untuk perbaikan nasib para petani, mengakhiri politik dinasti dan citra ke Islaman kian menggema di tiap pelosok.

Kesadaran dikalangan para Ulama dan Cendikiawan Muslim mulai muncul. Firasat yang bersandar pada suara Qolbu mereka, seakan menerangi jiwa yang gersang yang selama ini tertutup dari kencangnya pencitraan yang dilakukan tangan tangan penguasa. Ulama dan Cendikiawan Muslim sadar, Sejatinya yang memimpin Bima bukan IDP, melainkan tangan tangan bayangan dibalik kekuasaan. IDP yang secara kasat mata seorang Bupati, hanyalah tubuh tanpa nurani, yang kemerdekaan pikirannya telah terbelenggu.

Lihat saja, megahnya “Patung Berhala” yang berdiri kokoh di Wane dengan tatapan Angkuh nan Sombong yang keberadaannya melukai dan melecehkan harga diri dari umat Islam yang ada di Bima.  Gelombang suara desakan dari Forum Umat Islam (FUI) gabungan dari elemen dan organisasi Islam yang ada di Bima, yang menginginkan agar patung Berhala tersebut dirobohkan, tak di tanggapi bahkan di acuhkan oleh IDP. Padahal sebagai seorang Bupati yang beragama Islam, IDP harus peka akan soal Akidah seperti keberadaan Patung tersebut. Namun apa mau dikata, suara kritis dari rakyat Bima, tak membuat wanita yang “lahir dan berasal dari Kabupaten Dompu” ini tergugah hatinya.

Kini semuanya tergantung pada rakyat, penulis hanya mengungkap secuil dinamika yang ada, anda lah yang menentukan arah dan sejarah Bima kedepan.

Pepatah mengatakan “ Kekuasaan yang cenderung bertahan lama, rawan akan terjadinya penyimpangan (Korupsi). (***).

No comments

Powered by Blogger.