Pilkada Kabupaten Bima dan Prilaku Pemilih
foto: Nurdin Salah Satu Pimpinan Media Di Bima. |
Saya lebih suka mengaitkan perilaku pemilik suara (voter) dalam mengambil keputusan politik menjelang pilpres, April 2019 yang tinggal menghitung hari dengan dua teori tentang perilaku pengambilan keputusan manusia. Teori pertama, Bounded Rationality. Teori ini digagas oleh oleh Herbert Simon yang juga seorang peraih Nobel Ekonomi pada 1978.
Bounded rationality terjadi karena kemampuan kognitif manusia terbatas untuk mengolah semua informasi yang ada ditambah pula adanya keniscayaan asimetris informasi. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan orang sering melakukan heuristik atau mengambil jalan pintas dalam berpikir untuk membuat keputusan atau penilaian tertentu. Tidak terkecuali dalam pengambilan-pengambilan keputusan politik, para voter umumnya menggunakan heuristik.
Mondak (1994) mengatakan bahwa dengan menggunakan heuristik dapat membantu individu untuk mengatasi hambatan-hambatan yang diakibatkan terbatasnya informasi tentang politik. Dalam konteks bounded rationality ini, setidaknya ada tiga jenis heuristik yang akan digunakan para pemilih ketika menentukan pilihan. Pertama, pendekatan affect referral; memilih kandidat yang paling menarik atau yang lebih disukai secara emosional.
Banyak faktor yang membuat seorang tokoh menjadi menarik secara emosional. Sosok yang bisa ditampilkan sebagai merakyat, elegan, sederhana, dan apa adanya akan secara emosional menarik ketika komparasinya adalah sosok yang terkesan protokoler, penuh dengan prosedural, karismatik, tapi terisolasi dari publik. Ilustrasi pendekatan ini telah dapat kita lihat bagaimana IDP dan Babe Dahlan yang berhasil memenangkan Pilkada 2014 lalu karena berhasil menempatkan diri sebagai sosok yang secara emosional menarik bagi umumnya pemilih saat itu.
Kedua, endorsement; melalui pendekatan ini seorang voter memilih Pilkada karena rekomendasi dan garansi dari pihak luar yang dipercayainya. Pihak luar itu bisa tokoh masyarakat (kiai, ulama, akademisi, ilmuwan), kerabat dekat, ataupun kelompok-kelompok sosial seperti ormas, organisasi profesi, dan lain-lain. Maka tidak mengherankan mengapa para capres membutuhkan dukungan dari tokoh-tokoh berpengaruh di masyarakat, organisasi profesi, dan ormas karena semua entitas dan personifikasi tersebut mampu memberikan endorsement kepada para pemilih untuk memutuskan memilih tokoh yang dirujuknya.
Ketiga, familiarity; pemilih memilih karena tokoh yang bersangkutan telah dikenal atau diketahui sebelumnya. Ini biasanya berlaku untuk kalangan kader dan simpatisan dari partai-partai yang mendukung sang capres.
Teori kedua adalah yang dikemukakan oleh James Buchanan (seorang peraih Nobel Ekonomi 1986) dengan teori terkenalnya yang disebut Rational Choice. Pandangan Buchanan memegang prinsip dasar bahwa ketika seorang melakukan pilihan pastilah yang menguntungkan dirinya. Sebab pada prinsipnya manusia ketika mengambil keputusan tertentu berangkat dari pertimbangan utama untuk memperjuangkan kepentingannya, tidak terkecuali ketika mengambil keputusan dalam pemilihan umum.
IDP-Babe Dahlan vs H Syafruddin -Ady Mahyudy
Kalau kita cermati lebih lanjut, pendekatan bounded rationality lebih tepat digunakan oleh para penantang yang pernah gagal menduduki kursi Bupati 2014 lalu padahal dia petahana saat itu. Maka kalau H Syafruddin menggunakan strategi yang merujuk pada bounded rationality adalah suatu hal yang niscaya untuk memenangkan konstestasi.
Yang wajib bagi seorang petahana adalah memastikan bahwa mayoritas pemilih yakin kepentingan mereka sudah diakomodasi oleh petahana selama ia menjabat. Kalau tidak demikian, maka petahana tidak akan mampu meyakinkan pemilih untuk memilihnya kembali. Oleh karena itu mengapa pada menjelang akhir masa jabatannya seorang petahana di Amerika Serikat misalnya pasti menjaga dua hal penting untuk memenangkan pemilu, yakni inflasi dan angka pengangguran.
Tentu akan ada bobot yang lebih diprioritaskan, tergantung pada aspirasi publik lebih menghendaki inflasi yang rendah atau pengangguran yang rendah. Inflasi yang rendah menunjukkan akses voter terhadap barang dan jasa menjadi lebih mudah. Terlebih terkait dengan barang kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan, rendahnya angka pengangguran menunjukkan petahana telah berhasil menciptakan lapangan kerja untuk para pemilih.
Ingat, inflasi dan pengangguran yang kita maksudkan di sini bukan angka-angka statistik, tetapi hal yang dirasa dan dialami oleh para voter. Hal ini karena untuk petahana akan berlaku pendekatan rational choice. Kalau mereka menilai puas dengan kinerja petahana tentulah peluang besar bagi petahana untuk dipilih kembali dan jika sebaliknya makan penantang lah berpeluang besar untuk menang.
Bounded rationality kurang relevan digunakan para voter dalam menentukan pilihannya bagi seorang petahana. Sebagai contoh seorang santri dari kiai karismatik tidak akan tertarik memilih petahana yang di-endorse oleh kiainya di bilik suara, jika dia tahu bahwa kehidupan ekonomi, sosial, politiknya selama era petahana berkuasa tidak membaik. Apalagi kalau yang terjadi yang sebaliknya, walaupun tentunya sang santri tidak berani menunjukkan secara terang-terangan perbedaan pilihan politiknya tersebut kepada kiai yang dihormatinya.
Artinya, seorang petahana tidak bisa lagi mengandalkan penampilannya yang merakyat misalnya, kalau ternyata kebijakan-kebijakannya dinilai rakyat menyulitkan. Penampilan merakyat jadi tidak bermakna ketika rakyat tidak merasakan dampak perbaikan kehidupannya selama petahana berkuasa, karena telah berlaku rational choice dalam benak para pemilih. Berbeda dengan penantang yang belum pernah berkuasa, ia dengan penampilan yang merakyat akan melebih menjual dibanding petahana yang melakukan hal yang sama karena berlaku prinsip bounded rationality dalam benak para pemilih.(***)
No comments