KARMA POLITIK IDP
*Ashar S Yaman
PA GmnI NTB
Bima,KABAROPOSISI.Com--Tenaga rakyat adalah bahan dasar menyusun kekuasaan, jika rakyat marah, itu artinya fondasi kekuasaanmu sudah rapuh, bahkan bangunan kuasa yang terbentuk lamapun, berpotensi roboh.
Ingat Pilkada 2005? Masa awal penetrasi kelurga kesultanan dalam politik lokal? Kala itu berhadapan Abu Ya sebagai Petahana dengan Fery Zulkarnaen Sebagai Penantang, Metode politik yang digunakan oleh Fery dan kelompoknya iatu mengganggu stabilitas dengan gerakan-gerakan perlawanan rakyat, metode itu hari ini memukul IDP dan nyaris meruntuhkan moral politik IDP dalam menghadapi gejolak politik yang semakin tidak terkontrol, perbedaanya jaman Abu Ya pada saat menjadi Bupati gerakan protes massa tersentral di depan kantor Bupati dan kantor DPRD, jaman IDP gerakan menyebar bukan hanya dipusat kekuasaan tetapi nyaris terjadi di setiap Desa dan Kecamatan.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa gerakan protes massa ini terafiliasi politik, sampai hari ini saya masih beranggapan bahwa gerakan petani dan mahasiswa murni sebagai gerakan protes sebagai reaksi terhadap keadaan real yang tengah dihadapi masyarakat Bima, Harga jagung, Covid 19, Mobil pemadam Kebakaran dan seabrek soal yang menggambarkan satu dekadensi moral dari pemerintahan hasil pemilu kada 2015, meskipun banyak tudingan dari kelompok petahana bahwa aksi gerakan moral mahasiswa dan petani ditunggangi oleh kelompok politik tertentu, hemat saya Tudingan itu sangat politis dan mendiskreditkan Marwah gerakan mahasiswa, petani yang murni membawa aspirasi masarakat tani dan masyarakat luas yang mereka wakili, seolah-olah setiap seruan moral yang menuding wajah negara sebagai gerakan bermuatan politis.
Tuah politik istana mungkin saja akan segera berakhir Desember 2020 nanti, seabrek soal yang memicu gerakan protes massa bisa menjadi trigger keruntuhan dinasti dan klan istana dalam politik kekuasaan, setelah 14 tahun menancapkan kuku kekuasaan dan pengaruh di level eksekutif (Bupati) Tuah dan magis politik itu memudar hari-hari ini bersamaan dengan masivenya gerakan protes massa dari berbagai kalangan dan kelompok didalam masyarakat, ulama dan pemuka agama sudah mulai menyerukan untuk mengganti kekuasaan Desember nanti, mengkristal semua rasa kecewa rakyat atas ketidak mampuan IDP menghadirkan kebijakan solutif dari ragam peristiwa dan tuntutan publik, Dimata pendukung IDP mungkin ragam peristiwa sosial dan kebudayaan yang terjadi akan diafiliasikan sebagai peristiwa politik dan menuding kandidat-kandidat lain diluar petahana dibelakang gerakan moral petani dan mahasiswa, saya kira pada kondisi ini petahana dan pendukungnya haruslah melakukan evaluasi kritis terhadap kinerja dan capaian Prestasi petahana selama 4 tahun berkuasa, bukan justru menyalahkan dan melempar bahwa muara dari segala peristiwa sosial itu ditunggangi oleh aktor politik lawan petahana, "jangan salahkan lantai yang tidak rata apabila kau tidak bisa menari" adagium yang sesuai untuk menggambarkan sikap petahana dan pendukungnya dalam merespon gerakan protes massa yang semakin masive hari-hari ini.
Abu Ya yang dihitamkan diujung kekuasaan politiknya tahun 2005, seolah memukul wajah IDP diujung kekuasaannya pula, coreng moreng wajah kekuasaan, ambigunya sikap kekuasaan terhadap wacana keberpihakan terhadap hak-hak sipil, memicu protes keras dari semua lapisan dan elemen masarakat, bagaimana nasib petahana dalam waktu yang singkat menjelang berakhirnya massa bakti Agustus Mendatang? Tentu ini akan menyulitkan petahana, apalagi Petahana kembali berpasangan dengan wakilnya sekarang, praktis kekuasaan dan jalannya pemerintahan sampai dengan 9 Desember 2020 diluar kendali petahana, hilangnya rantai komando dan perintah ditangan petahana Agustus nanti akan menyulitkan petahana melakukan penetrasi politik ditingkat Grassroot (akar rumput) apalagi gelombang penolakan terhadap kehadiran petahan hampir bisa dipastikan akan semakin kuat di desa-desa yang pernah petahana tanda tangani kontrak politik 2015.
Sementara dikubu kandidat lain, konsolidasi diarus massa semakin masive dan terkonsolidasi dengan baik, menjadikan Petahana sebagai common enemy hampir mendekati kata dipahami oleh setiap orang, setiap kasta, setiap status sosial, labelisasi sebagai politisi "Kelelawar" Perlahan dan pasti membunuh karakter politik petahana, persis seperti apa yang dialami Abu Ya diujung kekuasaannya tahun 2005, ia dihitamkan dengan cara yang sama, dicaci oleh setiap orang yang menghendaki ada perubahan mendasar dalam pemerintahan dan distribusi kemakmuran, karma politik itu sekarang dialami IDP.(***)
No comments