Pemerintah Gagal Urus Petani, Itu Berarti Pemerintah Tidak Mampu Urus Rakyat

Oleh: M. Adfan Mahasiswa HUKUM UMM.

Bima,KABAROPOSISI.Com--Tahun ini merupakan tahun yang sangat fenomenal dan menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia wabil khusus Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB). Masalah demi masalah datang beriringan 'bak ombak menghantam karang'. 

Problema yang di hadapi oleh masyarakat NTB, amat ragam. Tak ada satupun masalah yang sudah terselesaikan baik yang terjadi di tahun-tahun lalu seperti salah satunya rehab recount rumah warga dampak bencana gempa bumi, sirkuit Motor GP, hingga kini kedatangan monster yang paling menakutkan yaitu covid_19. 

Serangan Covid_19 telah banyak memakan korban, diantaranya: 21 meninggal dunia, positif 757, sedang di rawat 413, dan yang di nyatakan sembuh 323 orang (IG InsideLombok, 05/06/20). Dari awal hingga kini belum ada perubahan yang cukup signifikan, malah sebaliknya terjadi penambahan jumlah korban jiwa. Entakah ini terjadi karena belum efektifnya penangan, kurang tepatnya langkah yang tempuh, atau memang sistem penangananya salah?

Namun sebahagian besar masyarakat NTB tidak memperhatikan, malah yang ditakuti adalah anjloknya harga komoditi disektor pertanian, sebut saja salah satunya jagung. Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu Provinsi yang telah menyumbang jagung terbanyak dalam negeri ini, dan pernah mengekspor jagung  di Filipina beberapa tahun yang lalu. Jagung kini di minati kurang lebih 60% petani NTB, terutama di pulau Sumbawa: mulai dari Kab. Sumbawa Besar, Sumbawa Barat, Dompu hingga Kab. Bima. Hampir keseluruhanya menggarap Jagung. 

Mulai dari tahun 2016 -2019 para petani benar-benar merasakan kehadiran jagung sebagai solusi perekonomianya. Tak sedikit petani yang berhasil menyekolahkan anaknya, membangun usaha, hingga berangkat Haji dari hasil jagung. Sisahnya biaya acara nikahan, sosial kemasyarakatan, dan belanja-belanja keseharian. Muliayana Edison, salah satu warga Mpili, Donggo Kab. Bima mengakui keberhasilanya dalam membangun usaha, biayai sekolah anak, hingga daftar Haji dari hasil Jagung. Pengakuanya lewat via telepon Selasa, 02/06/20.

Itu berarti jagung telah memajukan taraf kehidupan petani. Namun di tahun 2020 dengan tidak adanya kebijakan pemerintah Provinsi hingga Daerah yang kurang mencermati soal harga membuat masyarakat marah dan kecewa hingga melakukan Aksi Unjukrasa oleh Serikat Tani, Dompu,  Mei 2020 dan Laskar Tani Donggo Soromandi (LTDS) Bima, 02/06/20, kemarin. 

Di tengah puasa dan pandemi covid_19 Serikat Tani Dompu melakukan Unjukrasa dan memboikot jalan lintas Provinsi  menuntut soal harga jagung, dan di tengah-tengah pandemi covid_19 juga LTDS melakukan aksi dengan tuntutan yang hampir sama di depan Kantor Bupati Bima. Namun tidak menggetarkan pikiran dan nurani Pemda Bima dan Dompu, lebih-lebih Pemprov. Malah mereka di hadiahi dengan hujan batu, dipukul, dijarah, dilempar, ditendang, ditembak dengan peluru-peluru gas airmata. Mereka di perlakukan kasar layak seorang budak yan di perkosa, sewenang-wenang, sepuas-puasnya, sampai berdarah-darah, sampai luka-luka. Aturan di kesampingkan, didobrak, ditiadakan demi keutuhan kekuasaan, kediktatoran dilanggenkan, kebiadaban dibudayakan, nyawah tak lagi ternilainya bak kuasanya seorang raja (macth state), seolah-olah hukum tidak ada oleh kekuasaan junto feodal. 

Apa susahnya berirama bersama, mendengarkan secara saksama, mengakui dan mengupayakan sebaik-bainya, seadil-adilnya suara-suara mereka, suara-suara petani. Dan mengajak mereka untuk sama-sama berjuang memajukan daerah. 

Padahal Bupati/Gubernur bisa membuat Perbup/Perda untuk menentukan harga jagung. Tidak serta merta Permendag RI menjadi patokan absolut soal harga jagung. Pemembuktikan bahwa petani tidak lagi diperhatikan dan dihargai oleh pemerintah, malah kebijakanya mengebiri serta mempolitisir masyarakat tani dengan harga acuan 3.150/kg dengan takaran kadar airnya masing-masing telah di tentukan dengan standar harganya (Permendag RI 2016-2020 tentang Acuan Harga Jagung). Peraturan Menteri Perdagangan RI telah dilakukan perubahan sebanyak 4 (empat) kali, pada point-point pentingnya semacam penentuan soal harga, semuanya sama, tidak ada yang dirubah. Penetuan harga tersebut tidak seimbang dengan harga bibit, pupuk, dan obat-obatan yang serba mahal. 

Akibat dari itu Tidak ada yang perlu di perdebatkan kenapa di awal kalimat penulis menempatkan kata "_Pemerintah Gagal Urus Petani itu Berarti Pemerintah Tidak Mampu Urus Rakyat_".

Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA_Nya), negara agraris, berpulau-pulau, alamnya subur. Itu menandakan Indonesia lebih khusus NTB rata-rata kehidupan masyarakatnya bercocok tanam (bertani). Dan semua diserahkan dan dikuasai oleh negara untuk dikelola sebaik-bainya, sebenar-benarnya,  seadil-adilnya demi kemakmuran. Namun terbalik, itu semua dikuasai oleh kapitalis (investor) di kelola dan di kuasai olehnya demi kelomponya. Lihat Tambang Friport, tambang Almahera, Tambang Sumbawa dan tambang diberbagai belahan daerah lainya. 

Jika pemerintah mengabaikan petani maka miskin jadinya, jika petani tidak lagi bertani apa jadinya negara ini, rakyat mau makan apa? 

Harusnya petani diurus, dihargai bahkan di prioritaskan karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah petani, lebih-lebih NTB. Jika petani tidak di urus maka jelas rakyat tidak diurus, sebab sebahagian besarnya adalah petani, petani adalah pahlawan yang nyata di negeri ini, sampai kini, bahkan sampai manusia berhenti makan nasi, jagung, kacang, buah-buahan, serta makanan-makan lain yang di peroleh dari hasil keringat petani. 

Gubernur, Bupati, serta Pemerintah terkait, segera tuntaskan harga jagung, tetapkan harga yang selayak-layaknya, sejujur-jurnya. Lihat darah, daging, serta tulangmu yang tumbuh sehat dari hasil keringat petani.(***)

No comments

Powered by Blogger.