Yandi Calon Bupati, Rakyat Pilih Perang atau Damai ?


Penulis : Cahyo (Abdul Najib)
Ketua DPC GMNI Kabupaten Bima


BIMA, KABAROPOSISINTB. COM_ Di tengah situasi chaos/darurat pada bidang agraris-maritim serta des integrasi di bidang politik, hasil konvensi akbar Dinasti Kabupaten Bima mendorong Yandi sebagai Calon Bupati Bima dan menyepakati IDP (Indah Damayanti Putri – Bupati Bima Sekarang) maju sebagai Cawagub Nusa Tenggara Barat. 

IDP hari-hari ini elok di beri gelar sebagai Queen of Darkness (Ratu Kegelapan) Kabupaten Bima, sebab IDP yang menahkodai Kabupaten Bima selama hampir genap 10 Tahun terakhir ini tidak masuk dalam kategori pemimpin yang bersih, suci dan feminim. Malahan IDP di kategorikan sebagai Bupati yang licik, kotor, berdarah dan garang seperti layaknya wajah penguasa yang ambisius, yang senantiasa gelisah dan resah sampai seluruh ambisinya terwujud menjadi kenyataan.

Istilah Queen of Darkness cukup tepat sebagai gelar baru IDP yang selama periodisasinya memimpin Kabupaten Bima kerap menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), apalagi di penghujung kekuasaannya sebagai Bupati Bima sangat memprihatinkan kesannya untuk kewarasan public policy, mulai dari penataan jajaran birokrasi yang di dominasi oleh keluarganya sampai pada memplotting Yandi anak kandungnya sebagai Cabup. 

Inilah yang memicu hadirnya kecurigaan dan kekhawatiran rakyat terhadap alur logika mistika Dinasti Bima akhir-akhir ini. Menjelang pemilukada 2024 ini, des integrasi antara kecenderungan politik Dinasti dengan realisme sosial semakin mengkerucut, serta juga di tandai oleh kebohongan dan kerakusan yang memang menjadi ciri khasnya Dinasti-Politik itu sendiri.

Sampai disini, amarah dari people power (kekuatan rakyat) terhadap compang-campingnya karakterisasi Dinasti-Poitik hampir menyentuh puncaknya. Dalam kondisi seperti ini, saya di ingatkan oleh narasi edukatifnya diplomat sekaligus politisi asal Italia (Nicollo Machiavelli) yang mengatakan, “Nasib rakyat tergantung dari belas kasih sang penguasa. Kalau rasa belas kasih raja/ratu besar maka nasib rakyat selamat, kalau rasa belas kasihnya sedikit maka rakyat celaka dan melarat”. Kalau di lihat perangai penggunaan kekuasaan oleh IDP yang rakus, arogan dan anti dialog terhadap rakyat, lantas bagaimana jika nanti Yandi menjadi Bupati, otomatis rakyat akan berucap “Astaga/Astagfirullah” jutaan kali dan bahkan rakyat akan frustasi jika kenyataannya Yandi di lantik sebagai Bupati Bima.

Bukan hanya saja itu, mode realita Politik kabupaten Bima sekarang di bawah cengkeraman terah IDP hanya di jadikan sebagai ajang “Akumulasi Kekuasaan” belaka. Padahal sejatinya martabat politik adalah sebagai sarana “Distribusi Kemakmuran” secara merata. Pada sense of urgency inilah rakyat akan membalas dan mengutuk  “Keluarga IDP” karena menggunakan kekuasaan yang sudah offside, agar sesegara mungkin di tarik keluar dari pemukiman Trias Politica di tingkat manapun. Lebih khusunya pada sektor IDP yang mendambakkan Wakil Gubernur NTB serta Yandi yang mengobsesi jadi Bupati Bima. 

Kutukan dan Balasan rakyat terhadap kekuasaan yang di kooptasi dan di persekusi oleh Dinasti IDP adalah satu keniscayaan yang akan terwujud. Artinya, Emergency Politic sedang melanda kabupaten Bima, momentum pilkada yang bernuansa “head to head” adalah angin sejuk sekaligus shortcut (Jalan Pintas) untuk mengakselerasi peperangan antara people power dengan keculasan Dinasti IDP, yang selama ini mengakumulasi kekuasaan hanya untuk keluarganya. 

Polarisasi Politik Dinasti IDP yang mengharap dukungan dan empati, mungkin sudah tidak asing lagi bagi rakyat kabupaten Bima. Corak cium tangan dan memohon-mohon sampai sujud ke tanah di depan rakyat adalah jurus kolot tapi juga jurus ampuhnya Dinasti IDP. Namun, dewasa ini, dominasi rakyat sudah menghafalnya diluar kepala, apabila musim politik telah tiba (Pemilukada/buah hampir matang/rakyat), dengan sendirinya kelelawar (Dinasti IDP) mengatakan “Sudah Waktunya berburu dan memanen, sebab 5 Tahun setelah ini kita harus kabur dan berjarak dengan rakyat”. Seperti inilah analogi logic yang di implementasikan oleh Dinasti IDP. Sungguh ironis dan bengis, seutuhnya rakyat hanya di jadikan objek dan alat politik belaka. Situasai emergency sudah hampir klimaks dan tak mampu lagi di counter. Kondisi demikianlah yang mengindikasi tercetusnya phase perlawanan arus bawah terhadap Dinasti IDP secara legal-formal lewat pemilukada.

Mungkin Dinasti IDP abai dan lalai bahwa fanatisme dan kebencian rakyat terhadap pemimpinnya akan lahir, apabila rakyat gak di lirik dan di urus pemimpinnya, oleh karena keasyikan membagi dan menikmati kekuasaan yang berkepanjangan di lingkaran keluarganya. Awas, bangsa kita mengimpikan Sosialisme, kendati mengandung konotasi yang multi-interpretasi. Artinya rakyat sudah muak melihat kluster-kluster kemiskinan yang di rawat pada arus bawah yang hanya untuk melipatgandakan kesejahteraan yang di atas. Singkat kata, rakyat berharap ada Bupati Bima versi lain yang memprakarsai terwujudnya “tetesan kemakmuran dari atas, untuk didistribusikan ke arus bawah secara merata”. Itulah perangai Sosialisme ala Indonesia kita.

Alasan fundamental yang memicu kemuakan pemuda terhadap Dinasti IDP yang minim intellectual discourse, mengharuskan pemuda hari-hari untuk merombak total haluan kepemimpinan kabupaten Bima, agar supaya stagnasi politik dan kemerosotan ekonomi bisa teratasi secara menyeluruh. 

Jika wacana dari DPC GMNI Kabupaten Bima yang menginisiasikan Focus Group Discussion (FGD) bersama calon Bupati termaksuk Yandi, yang bertajuk “Arah Metodologi Mengurus Bima”  tidak ada reaksi positif, berarti ada unsur ketakutan Yandi terhadap forum-forum diskusi. Otomatis bisa saya pastikan, motif Yandi maju sebagai cabup hanya untuk kepentingan keberlanjutan dinasti, serta ilustari Yandi memimpin dengan mata yang buta, telinga yang tuli dan gagasan yang kosong sudah mulai terbaca sejak dini.(RED) 

No comments

Powered by Blogger.