AROK, DEDES, NAFSU DAN PERSELINGKUHAN POLITIK KEKUASAAN
Sekretaris DPC SATRIA KAB BIMA
BIMA,Kabaroposisi--Cinta segitiga Dedes,Tunggul Ametung dan Arok, adalah awal segala intrik politik dan kekuasan ditumampel,sebagai Akuwu Tumampel Tunggul Ametung tentu memiliki kekuaasaan, raja kediri mempercainya untuk menumpas perampokan upeti yang dilakukan oleh Arok, sekaligus mencurigainya sebagai sekutu yang tidak setia, ditambah keputusan Tunggul Ametung merekrut Arok dalam pasukan bhayangkari Tumampel atas rekomendasi Resi Lohgawe, karena Aroklah alasan Kenapa Tunggul Ametung diangkat menjadi Akuwu Tumampel, disisi lain Tunggul Ametung lewat tangan kanannya Kebo ijo, memperkuat laskar rakyat, dan merekrut bayangkari secara bertahap untuk memperkuat pertahanan tumampel, tunggul Ametung adalah ancaman bagi kediri, semenatara didalam istana Akuwu tumampel cinta Arok dan dedes tumbuh bersemi lengkap dengan segala rencana menyingkirkan tunggul ametung.
Malam laknat itupun datang, Tunggul Ametung ditikam Kebo Ijo di peraduannya, diahadapan Dedes. Kebo ijo adalah tanagan kanan tunggul ametung dalam memimpin Tumampel, ia berhianat kepada akuwu Tumampel hanya karena dijanjikan oleh raja kediri akan diangkat Akuwu jika bisa membunuh tunggul ametung, Kebo Ijo pun tewas ditikam Arok dengan keris yang sama. Asmara Arok dan dedes tumbuh tanpa halangan lagi, Arok menikahi Dedes dan memerintah Tumampel, meruntuhkan Kediri kemudian medirikan Singasari.
Seorang “Ratu” Tumampel jatuh cinta pada seorang bayangkari (cikal bakal kepolisian dalam negara modern) yang notabene adalah perampok yang paling disegani di Tumampel, tidak aneh, semua bisa terjadi karena cinta, ia rela dinikahi oleh Arok meski ia tahu didalam rahimnya ada benih Tunggul Ametung, benih itu dalam sejarah dikenal sebagai Anusopati pembunuh Ken Arok.
Dalam epic kekuasaan dan politik, di Indonesia bisa kita temukan dalam pararaton atau negarakertagama, catatan tentang intrik, konspirasi, perselingkuhan, siasat dan kelicikan disusun sedemikian tertata, sehingga penokohan dan ketokohan hadir dalam imajinasi pembaca secara utuh. tokoh utama kita, Ken Dedes, istri dari akuwu tumampel (Bupati) setelah suaminya meninggal ia dinikahi penjahat yang dikagumi oleh rakyat Tumampel Ken Arok (bayangkari Tumampel), kemudian bersama membangun kerajaan singasari, dari rahim Ken Dedes lahir raja-raja besar jawa.
Sejarah itu berulang, banyak kejadian serupa yang bisa ditemukan dalam kronik politik modern, model kudeta merangkak Arok dijadikan model oleh Soeharto untuk menggulingkan Soekarno, konsensus majapahit sebelu Tribuana tungga dewi menjadi raja, model kekuasaan peralihan dari Gusdur ke Megawati, bahkan dalam pembacaan politik lokal, kisah Arok dan dedes seperti yang tertulis dalam lontar negarakertagama dan pararaton.
Tetapi cara kita untuk mengingat sejarah mungkin hanya sebatas patung kuda, yang diafiliasikan pada Ranggalawe adipati Tuban, anak Aria Wiraraja adipati sumenep, yang oleh sebagian masarakat kita dipercaya sebagai kesatria asal Bima yang berjasa membangun majapahit, nama rangga (mone) dipercaya dan diafiliasikan dengan konsep kesatria Bima,atau bentuk penghormatan terhadap Karaeng Bontomaranu panglima perang angkatan laut Gowa yang telah membantu Abdul khair Sirajudin naik tahta setelah mengalahkan Salisi, Kapitang, kuda coklat, mungkin saja kita masih sebatas mengenang jasa kuda-kuda bukan jasa-jasa dan ketokohan secara personal, atau bisa jadi patung Wane itu simbol kejayaan dimasa lampau yang dihadirkan disudut pinggir kebudayaan, dengan nilai etika dan estetika pinggir pantai, tabah diterpai topan dan badai, atau pembuat patungnya ingin menjelaskan wadu pa’a diutara, patung-patung diselatan, sebagai simbol ketuntasan prasasti, yang juga belum selesai dibahas dalam diskursus sejarah Bima modern.
Untuk mengenang Ken dedes sebagai Ibu masarakat Malang, pintu masuk kota malang dibangun patung Ken dedes, dipahat cantik dan elok, setiap tamu yang datang langsung dihubungkan dengan masalalu dan asal usul malang,tumamampel dan singasari, dengan segala intrik, dinamika dan kronik historisnya, sementara didaerah kita masih malu-malu untuk bicara jujur pada sejarah, keberanian kita masih sebatas patung kuda, yang dituangkan secara ikonik di jalan baru Panda, kita masih malu-malu untuk mengatakan bahwa sejarah harus diluruskan, sejarah harus lepas dari beban teologis sistem kepercayaan apapun, karena tugas kesejarahan itu menghadirkan peradaban, bukan memuja mitos dan mengubur atau merusak fakta yang tidak bisa dikubur oleh waktu sekalipun, kenapa wadu pa’a tidak dijadikan cagar Budaya?
Daerah ini sudah banyak melahirkan, intelektual dan pemikir-pemikir hebat, tetapi kita lupa bagaimana cara memberi mereka tempat, Dualisme sistem antara monarkhi dan pemerintahan kemudian menempatkan orang-orang hebat ini dalam oposisi biner, disatu sisi ia mengutuk konsep monarkhi disisi lain mereka merayakan peradaban (kebudayaan) dalam bayang-bayang teologis, kesadaran semu seperti ini kemudian membuat kita semua lalai bahwa ada tugas sejarah yang harus diluruskan.
Perselingkuhan Arok dan Dedes, tidak melulu sebagai perayaan nafsu dan ambisi kekuasaan, tetapi lebih pada meleburnya dua kutub agama dominan ditumampel kala itu, Arok Hindu dan Dedes Budha, perselingkuhan itu kemudian langgeng karena status Arok sebagai Bayangkara Tumampel, sebagai tentara/poliisi dan mantan perampok Arok punya kekuasaan untuk menekan perlawanan diarus bawah tumampel dan mengkonsolidasi kekuatan rakyat, begitupun konflik majapahit dan Demak diujung kekuasaan Majapahit, lebih dominan konflik teologis dan sistem keperacayaan, bukan melulu soal kekuasaan politik, begitu juga konflik Salisi dan saudara-saudaranya, meski kemudian Salisi dihakimi sebagai Penghianat tanpa alasan, sejarah ditulis oleh pemenang, kita hanyalah korban dari pertikaian kelompok penguasa dimasa lampau, sebagai rakyat kita dibebankan hanya pada soal menang dan kalah.
Walahualam!***.
No comments