Ruang Komunitif Dalam Demokrasi: Sebagai Titik Temu!
Fathur, mahasiswa Pascasarjana UNY.
Bima,KABAROPOSISI.Com--Demokrasi sistim kurang buruknya dibanding yang lain. Didalamnya terjadi kebebasan dalam berpikir, bersuara, dan bertindak. Selama tidak membatasi kebebasan yang lain. Dinamikanya akan terus berlanjut kebisingan terus mewarnai kehidupan. Apalagi hadirnya media sosial, banyak hal bisa disaksikan dengan jarak jauh. Hanya dengan menggeser jari jemari pada smart phone. Menyampaikan sesuatu, misalnya ketimpangan struktural.
Polarisasi yang akan dimainkan oleh beberapa strata tidak lepas dari kepentingan. Disana ada hubungan kenyataan obyektif, kenyataan sosial, dan kenyataan subyektif. Saling menegaskan kepentingan segala hal menjadi tukar tambah dalam meraih keuntungan, benefit. Seakan-akan melupakan ruang dialog. Jurgen Harbermas (Jerman, 19), tokoh Frankfruct, menyebutnya Ruang Komunikatif.
Dalam ruang komunikatif, diberikan kesempatan untuk diskursus, mempertengkarkan hal ihkwal yang berkaitan apa yang menjadi keresahan bersama guna menemukan titik temu sebagai titik tuju-kotrak sosial, misalnya dalam menjemput wacana bulan lalu tidak menutup kemunkinan saat ini kehangatnya tetap dirasakan, misalnya efek dari kovid-19, bulan lalu ada regulasi mengenai pemberian Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat tidak mampu melalui pemotongan Anggaran Dana Desa (ADD). Mengenai uang hal yang paling sensitive ditengah kerumunan, salah satu filsuf Italia pernah berucap, Foltaire “dihadapan uang semua manusia agamanya sama”.
Aturan teknis oleh Menteri Desa menyebutkan Desa yang mendapatkan kurang dari 800 juta ADDnya akan dipotong maksimal 25%, antara 800-1.2 M dipotong maksimal 30%, dan di atas 1.2 M dipotong maksimal 35%. Anggaran dipotong sebesar porsentase tersebut akan diberikan langsung tunai. Selama tiga kali diterima, April-Juni.
Tentu ini akan bias (Ketidak jelasan) apabila didengar oleh beberapa tingkatan level pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran. Pemotongan tersebut masih memberikan kesempatan bersama oleh aparatur desa guna menyepakati presentasi yang tetap, karena disana menyebutkan “Prosentasi maksimal”. Sebab diantara manusia masih minimnya bahan refensi untuk menghempas kaki dalam berpijak.
Kemudian syarat-syaratnya, kriteria yang akan menerima perlu diperhatikan bersama, jangan sampai diplintir hanyalah orang-orang didekat aparatur desa yang akan menerima dan merasakan bantuan walaupun ia strata sosial berkecukupan dan menerima bantuan sosial aainnya. Apabila hal ini terindikasi, besar kemungkinan berdampak pada perseteruan antara aparatur desa dengan masyarakat-meminta pertanggung jawaban dengan cara kekerasan, menurunkan dari jabatan, siap menerka dengan kuku dan merobeknya dengan taring bagi mereka yang tidak berlaku menegakan kebenaran dan keadilan dalam tatanan masyarakat.
Percaturan ini telah mewarnai media sosial. Baik antara masyarakat awam, aparatur desa dengan intelektual. Dengan menghadirkan ruang komunikatif atau local wisdom Mbojo “Doho ra dampa, musyawarah mufakat sebagai titik tengkar, titik temu, dan titik tuju. Supaya tidak asal pengklaiman kebenaran, konflik interenst (kepentingan). Disinilah Hegel (Jerman, 18) menyebutnya sebagai Sintesis dalam mengungkapkan segala hal permasalahan guna mencapai kebenaran, sintessis. Baik kebenaran ilmiah, logis, etik, dan spiritual. Kebanyakan dari kita hanya mengandalkan kebenaran ilmiah. Membuang jauh-jauh kebenaran lain.
“Dari contoh di atas hanyalah bagian terkecil yang dihadapi, ada banyak dinamika dalam kehidupan, begitu kompleks. Siapa yang mampu membaca nilai diri (subyektif), realitas (obyek), dan hubungan sosialnya, ia akan diterima di mana kakinya berpijak!”.
Semoga kita sadar dengan apa yang terjadi pada negeri ini khususnya diranah sosial, semoga mata, telinga, dan hati kita senantiasa kita pergunakan untuk melihat, mendengar dan merasakan jeritan dari masyarakat yang tertindas karena haknya dirampas, sehingga pada akhirnya kita senantiasa memihakkan diri kita pada nasib mereka yang menjadi korban kerakusan manusia lalim.
Menutup goresan jari-jemari ini, mengajak pembaca untuk mengingat dan merenungkan kembali pesan dari Imam Ali bin Abi Thalib bahwa “Penindas dan yang tertindas (tapi tidak melawan), sesungguhnya sama-sama menggunting keadilan”.(***)
Bima,KABAROPOSISI.Com--Demokrasi sistim kurang buruknya dibanding yang lain. Didalamnya terjadi kebebasan dalam berpikir, bersuara, dan bertindak. Selama tidak membatasi kebebasan yang lain. Dinamikanya akan terus berlanjut kebisingan terus mewarnai kehidupan. Apalagi hadirnya media sosial, banyak hal bisa disaksikan dengan jarak jauh. Hanya dengan menggeser jari jemari pada smart phone. Menyampaikan sesuatu, misalnya ketimpangan struktural.
Polarisasi yang akan dimainkan oleh beberapa strata tidak lepas dari kepentingan. Disana ada hubungan kenyataan obyektif, kenyataan sosial, dan kenyataan subyektif. Saling menegaskan kepentingan segala hal menjadi tukar tambah dalam meraih keuntungan, benefit. Seakan-akan melupakan ruang dialog. Jurgen Harbermas (Jerman, 19), tokoh Frankfruct, menyebutnya Ruang Komunikatif.
Dalam ruang komunikatif, diberikan kesempatan untuk diskursus, mempertengkarkan hal ihkwal yang berkaitan apa yang menjadi keresahan bersama guna menemukan titik temu sebagai titik tuju-kotrak sosial, misalnya dalam menjemput wacana bulan lalu tidak menutup kemunkinan saat ini kehangatnya tetap dirasakan, misalnya efek dari kovid-19, bulan lalu ada regulasi mengenai pemberian Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat tidak mampu melalui pemotongan Anggaran Dana Desa (ADD). Mengenai uang hal yang paling sensitive ditengah kerumunan, salah satu filsuf Italia pernah berucap, Foltaire “dihadapan uang semua manusia agamanya sama”.
Aturan teknis oleh Menteri Desa menyebutkan Desa yang mendapatkan kurang dari 800 juta ADDnya akan dipotong maksimal 25%, antara 800-1.2 M dipotong maksimal 30%, dan di atas 1.2 M dipotong maksimal 35%. Anggaran dipotong sebesar porsentase tersebut akan diberikan langsung tunai. Selama tiga kali diterima, April-Juni.
Tentu ini akan bias (Ketidak jelasan) apabila didengar oleh beberapa tingkatan level pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran. Pemotongan tersebut masih memberikan kesempatan bersama oleh aparatur desa guna menyepakati presentasi yang tetap, karena disana menyebutkan “Prosentasi maksimal”. Sebab diantara manusia masih minimnya bahan refensi untuk menghempas kaki dalam berpijak.
Kemudian syarat-syaratnya, kriteria yang akan menerima perlu diperhatikan bersama, jangan sampai diplintir hanyalah orang-orang didekat aparatur desa yang akan menerima dan merasakan bantuan walaupun ia strata sosial berkecukupan dan menerima bantuan sosial aainnya. Apabila hal ini terindikasi, besar kemungkinan berdampak pada perseteruan antara aparatur desa dengan masyarakat-meminta pertanggung jawaban dengan cara kekerasan, menurunkan dari jabatan, siap menerka dengan kuku dan merobeknya dengan taring bagi mereka yang tidak berlaku menegakan kebenaran dan keadilan dalam tatanan masyarakat.
Percaturan ini telah mewarnai media sosial. Baik antara masyarakat awam, aparatur desa dengan intelektual. Dengan menghadirkan ruang komunikatif atau local wisdom Mbojo “Doho ra dampa, musyawarah mufakat sebagai titik tengkar, titik temu, dan titik tuju. Supaya tidak asal pengklaiman kebenaran, konflik interenst (kepentingan). Disinilah Hegel (Jerman, 18) menyebutnya sebagai Sintesis dalam mengungkapkan segala hal permasalahan guna mencapai kebenaran, sintessis. Baik kebenaran ilmiah, logis, etik, dan spiritual. Kebanyakan dari kita hanya mengandalkan kebenaran ilmiah. Membuang jauh-jauh kebenaran lain.
“Dari contoh di atas hanyalah bagian terkecil yang dihadapi, ada banyak dinamika dalam kehidupan, begitu kompleks. Siapa yang mampu membaca nilai diri (subyektif), realitas (obyek), dan hubungan sosialnya, ia akan diterima di mana kakinya berpijak!”.
Semoga kita sadar dengan apa yang terjadi pada negeri ini khususnya diranah sosial, semoga mata, telinga, dan hati kita senantiasa kita pergunakan untuk melihat, mendengar dan merasakan jeritan dari masyarakat yang tertindas karena haknya dirampas, sehingga pada akhirnya kita senantiasa memihakkan diri kita pada nasib mereka yang menjadi korban kerakusan manusia lalim.
Menutup goresan jari-jemari ini, mengajak pembaca untuk mengingat dan merenungkan kembali pesan dari Imam Ali bin Abi Thalib bahwa “Penindas dan yang tertindas (tapi tidak melawan), sesungguhnya sama-sama menggunting keadilan”.(***)
No comments