Kebangkitan dan Gugurnya stereotype Donggo Sebagai Masyarakat Kelas III

*Ashar S Yaman
PA GmnI NTB

Bima,KABAROPOSISI.Com--Berkali-kali saya sering melontarkan Joke bahwa pelekatan stereotype terhadap entitas Donggo itu dilakukan oleh penjajah, siapa penjajah yang menuding entitas Donggo sebagai masarakat kelas III? Mereka itu adalah keluarga istana, dimanapun bangsa yang menjajah atau bangsa penakluk selalu melekatkan istilah me-Minderkan masyarakat asli, seperti pelekatan terhadap suku Manggarai setelah penaklukan oleh kesultanan dengan kata yang menghina "ada Manggarai" atau suku Lombok yang yang dilekatkan dengan sterotipe "Sasa", hinaan secara kebudayaan dan bahasa itu dimulai sejak penaklukan SALISI dan Pengukuhan sultan Bima I, jadi makna pelekatan massa tradisonal yang menunjuk pada entitas Donggo secara politik itu adalah satu bahasa dominasi dan hegemoni politik para penakluk, yang dominan berasal dari suku Goa dan Bone.

Memang selama ini ada semacam ambiguitas dan pembacaan budaya politik secara paradoksal, dimana entitas Donggo yang direndahkan secara kebudayaan, justru menjadi massa tradisonal yang diklaim keluarga istana sebagai pendukung fanatik dan penyokong hegemoni keluarga istana yang paling dominan, misal untuk peristiwa Donggo 1972 yang legentadaris itu, dalam tafsir istana gerakan masarakat donggo tahun 1972 itu adalah bentuk dukungan moral dan budaya masarakat donggo terhadap eksistensi kesultanan dan putra kahir sebagai Jenateke kala itu, namun gerakan petani Donggo Jilid I dan II menjadi antithesa budaya, bahwa kebangkitan masarakat tradisional dipanggung politik dan kebudayaan lokal menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan trah kesuktanan Bima.

Kenapa Donggo bangkit dengan semangat menggelorakan perubahan, kesetaraan dan emansipasi budaya, politik dan ekonomi? Apa karena kebetulan bersinggungan dengan hadirnya tokoh Donggo sebagai kandidat Cawabub dipilkada Desember  2020 nanti, jawabannya tentu saja tidak, bangkitnya kesadaran massa terdidik dan kelas menengah baru di Donggo itu adalah lonceng kematian keluarga istana dalam politik kekuasaan, kemarahan masarakat donggo mendapat tempat dihati publik dan sejarah lokal yang selalu menempatkan Donggo disudut pinggir narasi tutur, kini melebur dalam imajinasi setiap warga negara, bahwa "Donggo" telah kembali, pemilik Syah kedaulatan budaya dan sejarah asli.

Apa sikap keluarga istana menghadapi kebangkitan Donggo? Apakah akan bersikukuh dengan arogansi kekuasaan dan sejarahnya, atau justru berpikir bagaimana cara mempertahankan basis kuktural dan kebudayaan istana dengan politik kompromi? itu soal dinamika yang akan kita cermati dalam waktu-waktu dekat ini, sebagai sebuah narasi gerakan protes petani "Donggo" (donggo soromandi saya sebut Donggo karena asal entitasnya Donggo) mengandung bahaya bagi keluarga istana, sejarah politik kekuasaan istana tidak bisa dilepaskan dari peran sejarah masyarakat Donggo, meski cinta masarakat donggo terhadap keluarga istana tidak pernah berbalas dengan Budi istana yang sepadan, namun cinta dan pelekatan budaya dan politik kekuasaan itu telah membentuk DNA politik dou "Donggo" terhadap keluarga istana.

Apa yang kesan dan pesan politik yang  bisa diambil oleh keluarga istana dalan dua (2) gerakan petani Donggo? Masihkah istana berpikir Donggo sebagai penyokong utama legitimasi kekuasaan istana? Masih arogankah istana atas tafsir sejarah dan kebudayan yang mereka lekatkan sendiri terhadap masarakat donggo? Atau justru berupaya keras untuk membuat peta jalan kompromi bagaimana seharusnya Donggo diperlakukan secara budaya, politik ekonomi, distribusi kekuasaan dan kemakmuran yang adil? Kesadaran dan kemauan politik itu ada ditangan IDP.

Kesadaran kolektif masarakat Donggo untuk bangkit menunjukan eksistensi "Donggo" diruang publik, menunjukan ada pergeseran nilai yang dialami, tingginya angka kelas terdidik baru masarakat Donggo, menambah kesadaran itu sebagai satu gerakan sadar, bahwa sepanjang sejarah pasca penakulakan SALISI, Donggo hanya dijadikan sebagai alat dan bamper politik istana, tanpa retribusi kemakmuran Dan  keadilan yang setara dengan daerah dan kecamatan lain, padahal Donggo memiliki akumulasi sumber daya manusia (SDM) yang tidak kalah dengan SDM Dikecamatan lain.

Pembuktian sejarah dan pertautan antara istana dan masarakat Donggo, menjadi tugas berat Pemerintah daerah, disatu sisi istana mengganggap Donggo hanya sebagai "pelayan" kekuasaan, sementara masyarakat donggo menuntut ada perlakuan yang "adil" sesuai dedikasi dan totalitas pengabdian sebuah entitas kepada keluarga istana, disini kita menguji apakah IDP punya komitmen moral kepada dou "Donggo" atau hanya sekedar bualan dan lips Service belaka.

Secara kebudayaan saya mendukung gerakan kebangkitan Donggo sebagai cara menghormati dan menempatkan "Donggo" dalam semangat egalitarianisme, kita dan Donggo ditautkan dalam sejarah penaklukan dan petualangan "Goa" berada dalam garis imajinasi sejarah sebagai yang "terbuang" 

Mari kita rayakan "kebangkitan" saudara kita dou "Donggo" sebagai kilas balik sejarah dan peradaban Bima.(***)

No comments

Powered by Blogger.