MENG-AKU JENATEKE, Sebuah Status politik Palsu

*Ashar S Yaman 
Persatuan Alumni (PA) GmnI NTB 

Bima,KABAROPOSISI.Com--Politik kebudayaan modern itu realistis, kenyataan yang dinyatakan bukan mistik, bukan pula romantisme, membangkitkan hantu-hantu massa lalu sebagai garansi politik meraih simpati publik, pemimpin macam ini dipastikan tidak memiliki identitas diri yang otentik, ia tidak beda dengan benalu sejarah yang hanya mendompleng pada  arwah-arwah massa lalu, ia kehilangan dirinya, dari mana asal kompetensinya jika dia saja tidak percaya pada dirinya sendiri, tidak percaya pada kemampuan asasinya sendiri.

Sebagai tubuh politik kesultanan Bima itu sudah tidak ada, lalu dari mana sumber legitimasi politik dan budaya seseorang itu disebut "JENATEKE" Putra Mahkota? 

Apa pentingnya JENATEKE untuk peradaban dou ma labo dana ditengah perubahan dunia yang tidak lagi berorientasi pada feodalisme sebagai sistem maupun sebagai cara pandang, meski akhir-akhir ini generasi a histori lainnya lahir dan tumbuh seperti benalu di pohon bonsai, menjadi kangento dalam pusaran polemik "masih relevankah putra mahkota" di kerajaan negara api dan apa urgensi dari status JENATEKE untuk peradaban umat manusia? Sejauh mana eksistensi JENATEKE berguna dalam distribusi kemakmuran dan keadilan bagi rakyat kerajaan negara api? 

Setelah Indonesia Merdeka, daerah-daaerah yang tidak diberi keistimewaan seperti Jogja dan Aceh implisit daerah itu tidak lagi berbentuk kerajaan, tetapi menjadi kabupaten dengan tata kelola pemerintahan sesuai undang-undang yang berlaku di Negara kesatuan Republik Indonesia(NKRI), polemik apakah JENATEKE itu diakui negara? Secara juridis negara sudah tidak lagi mengakui eksistensi kesultanan Bima, setelah sultan M.Salahuddin mengeluarkan Maklumat berbagung dan mengakui kedaulatan NKRI, menempatkan JENATEKE dan keluarga Istana Sebagai manusia kelas I (Satu) di kabupaten Bima, salah kaprah dan a histori.

Bagi keluarga istana, melanggengkan simbol feodal, gelar dan  istilah-istilah itu penting secara politik, karena gelar-gelar feodal itu modal eksistensi Mereke dalam melakukan demagogi sekaligus pedagogi politik terdahap massa yang kebetulan berwatak materialis dan transaksional.

Pelekatan politis  JENATEKE sebagai kelanjutan dari trah sultan Bima, tidak lepas dari kepentingan politik kekuasaan diarena kuasa politik formal, legitimasi sebagai Jenateke dan pewaris sultan adalah kartu truf untuk meyakinkan publik bahwa adagium "pemimpin itu dilahirkan" benar adanya, tidak tanggung-tangung keluarga sisa feodal ini sukses menggenggam kekuasaan 25 tahun lamanya dan mendominasi partai Golkar dan lembaga Supra struktur politik (eksekutif dan legislatif) hanya dengan mengobral istilah JENATEKE dan keluarga Istana, sebagian masarakat yang tidak mengerti sejarah, menganggap trah sultan itu masih ada, dilanggengkan dalam tradisi tutur dan bahasa, diberi kehormatan sebagai simbol budaya, mentalitas bahkan dilevel yang paling dalam sebagai berhala politik kekuasaan, mempercayai bahwa kekuasaan politik hanya bisa dimiliki dan diwarisi oleh keluarga bangsawan sisa feodal, meski perlahan dan pasti mode pikiran usang yang mengkonfirmasi kelas feodal sebagai kelas yang memerintah mulai ditinggalkan oleh kelas menengah baru yang lebih rasional dan berpikir maju.

Legitimasi JENATEKE mungkin hidup nyaman dibenak massa yang masih berpikiran kolot, diremajakan terus sebagai wacana "JENATEKE" pada waktunya akan menjadi Sultan, dinegara mana JENATEKE akan dikukuhkan sebagai sultan? 

Mengkultuskan JENATEKE sebagai manusia suci, meski ia berdosa sekalipun harus dimaafkan, bahkan untuk tindakan amoral sekalipun JENATEKE tidak bisa salah, pikiran macam ini bukan hanya merendahkan martabat manusia, tetapi  juga menelanjangi betapa naifnya manusia modern berpikir, tidak bisa menempatkan manusia sebagai manusia yang pantas atau tidak pantas untuk diberi tempat dan kedudkan tinggi  lagi terhormat.

Keuntungan politik yang terakumulasi ditangan  keluarga istana, bukan karena mereka itu manusia unggul, tetapi massa pemilih terlalu simplistik menentukan keadaan dirinya sendiri dalam satu keputusan politik, mengkooptasi dirinya dalam bayang-bayang massa lampau yang fana, ilusi akan hari esok yang lebih baik,mistifikasi Poltik adalah cara usang yang sering kali dibangkitkan dalam moment-moment politik sebagai mantra, kalimat magis yang memudar bersamaan dengan gerak jaman, mendera setiap pikiran sadar untuk menolak setiap bentuk dominasi yang mengatasnamakan status sosial atau gelar feodal apapun, JENETAKE itu massalalu yang sudah berakhir, sultan itu juga massa lalu yang telah selesai, menghidupkan kembali simbol-simbol feodal dalam regim berpikir massa, itu artinya, peradaban ingin dibawa mundur jauh ke abad XVI.

Mengehentikan JENATEKE dan Keluarga istana untuk terus berkuasa dan memegang kendali atas pemerintahan dan kebijakan adalah kebajikan setiap umat manusia yang berpikir tentang massa depan, distribusi kekuasaan dan sirkulasi elit-elit lokal, distribusi ekonomi, kesejahteraan dan kemakmuran bagi sekalian massa rakyat

Berhentilah membohongi sejarah dan mengeksploitasi simbol-simbol massa lalu untuk kepentingan politik kekuasaan, karena rakyat tidak butuh Gelar Feodal untuk membangun peradaban, rakyat hanya butuh kemakmuran dan keadilan didistribusikan dengan baik, bukan Gelar Feodal yang hanya dimengerti oleh kalangan feodal  sendiri

JENATEKE dan Sultan itu hanya massalalu, mempercayai mereka  bisa mewarisi masakini dan masa depan itu pikiran yang paling naif, mereka sudah selesai sebagai tubuh kekuasaan feodal, mewacanakan trah sultan sebagai simbol budaya dan kekuasan abadi itu artinya kamu masih minder pada nasibmu semoga takdirmu  tidak minder untuk berkata "Manusia" tidak perlu diberi penghormatan melampaui apa yang ia nyatakan, moralitas dan segala kepalsuan yang pernah diyakini dan terus dipropagandakan oleh kelompok  sisa-sisa feodal adalah dusta yang yang dikemas dalam gimick politik yang tidak perlu untuk dipercaya dan harus segera diakhiri.(***)

No comments

Powered by Blogger.