Musim Kemarau Tiba Petani Garam Teluk Bima Sambut Dengan Merana
Oleh: Azri Putra Garam
Bima,KABAROPOSISI.Com--Entah seperti apa rasa harap sekaligus putus asa yang dirasakan semua petani garam teluk Bima menyambut musim kemarau 2020. Di tengah kesusahan dan keterbatasan karena pandemi, kami harus merangkak terus bertahan hidup meskipun dengan sebiji butir garam. Sudah lebih tiga tahun garam di gudang tradisional petani di simpan rapi. Tersimpan dengan rasa was-was sebab kapan kapan bisa diterjang banjir karena pasang surut air laut.
Bagi kami, garam yang tersimpan itu bukan sekedar kristal dan butiran asin saja, tetapi asa dan harapan bagi setiap anak-anak petani untuk melanjutkan cita-cita. Ialah harapan karena kami hidup dari tergantung fluktuasi harga garam. Yah tidak mengapa, takdir kami memang hidup di pesisir.
Kembali ke persoalan garam Bima. Dimana duduk persoalannya? Setidaknya kami bisa formulasikan masalah tersebut dgn tiga pembahasan dlm bahasa sederhana.
Masalah pertama ialah masalah tata kelola kebijakan. Sering kali kita dengar upaya pemerintah yang katanya telah membuat kebijakan berpihak pada petani garam. Jika benar begitu, maka masalah petani harusnya telah selesai.
Saya ambil contoh sederhana, jika benar pemda atau pemprov itu komitmen, maka kebijakan perlindungan hasil tani garam bima sudah dirumuskan. Seperti kebijakan pemamfaatan garam lokal untuk suply garam untuk ASN se kabupaten atau se-Provinsi. Sekali lagi, kami dgr itu hanya sebagai wacana. Perihnya lagi, BUMD kita tidak dikelola dengan baik, karena itu garam kita tidak diserap dengan maksimal karena bisnisnya sakit. Perlu komitmen Bupati dan Gubernur untuk merumuskan kebijakan perlindungan tersebut.
Masalah kedua ialah masalah kualitas garam. Masalah ini sering kali perisai bagi pemerintah untuk menyalahkan petani garam. Kita akan beri tahu. Kami sudah coba dialog langsung dengan petani di bawah, di lapisan grass root. Beliau beliau itu bukan tidak mau dan komitmen dengan garam berkualitas. Program integrasi lahan yang digelontorkan pemerintah Pusat ke daerah itu sulit diterapkan karena mismatching dengan keadaan tambak petani. Saya kasih contoh, kalau anda pernah tinjau lokasi garam Madura, tentu kita sama sama tau Madura julukannya pulau garam. Di sana, tambaknya luas dan satu org bs memiliki hektaran tambak. Artinya ketika integrasi itu turun ke sana, bukan perkara sulit, tinggal kumpulkan beberapa orang petani, maka jadi. Lepas dari konsep integrasi yang tdk cocok di Bima.
Pertanyaan yang harus dijawab, program integrasi itu sudah turun di teluk bima beberapa tahun belakangan, kemana hasil garam K1 (Kualitas satu) itu dibisniskan? Apakah program itu berlanjut? Kenapa petani meradang? Jika diteropong lebih detail, masalah garam integrasi itu bs dikatakan "sensasi sesaat". Sensasi karena setelah selesai program itu satu tahun, musim selanjutnya tidak lagi. Maka upaya produksi garam K1 praktis hanya sensasi tahunan yang tidak berkelanjutan. Program itu gagal meyakinkan petani garam bahwa itulah role model produksi garam masa depan. Selain karena ribet dan lama, hulu hilir pengelolaanya masih simpang siur. Pada dasarnya petani siap kapan saja diminta untuk memproduksi garam berkualitas asal harganya cocok. Jangan sampai petani sudah berkeringat panas harus mengelola air laut dengan lama, proses pengkristalan garam yang berpuluh hari malah dihargakan sama dengan harga garam produksi tradisional.
Maka yakinkan petani bahwa garam berkualitas yang harus dibuat sudah pasti ada pembelinya, dan harga yang cocok. Jangan menghayalkan bahwa pembelinya hana hanu, ini itu, pembelinya dari PT ini lah, PT itu lah. Itu wacana bos.
Masalah ketiga ialah masalah keserisuan pemangku kebijakan. Beberapa kali petani garam teluk Bima melakukan aksi demonstrasi, dari yang dialogis sampai konfrontatif dengan eskalasi menegangkan.
Kesemua cara itu bs ditarik kesimpulan bahwa komitem Bupati dan Gubernur di skala wilayah perlu dipertanyakan. Saya masih ingat dialog di VIP bandara Sultan M. Salahudin Bima, di situ hadir Gubernur NTB, Bupati Bima, kadis DKP kabupaten dan Provinsi sekaligus. Pd dialog itu kami meminta pemangku kebijakan merumuskan satu rumusan kebijakan yang berpihak pada garam Bima setelah kami paparkan masalahnya.
Sesaat nampak kami dibuai harapan, banyak orang memotret pertemuan itu, apalagi yang catat nomor hp kami untuk follow up (mungkin). Kami tau kapasitas Gubernur kita yang juga ekonom, dan juga kelihaian diplomasi Bupati bima hasil dari sering kunjungan ke luar daerah. Apa daya, setelah dialog itu, kami tunggu realisasinya bulan demi bulan. Kami sabar. Kami masih menunggu itikat baik dan komitmen. Sebab bagi kami, ini soal waktu dan kesibukan saja. Eh, musim berganti, kemarau datang lagi di 2020 bersamaan dgn pandemi. Pandemi itu urusan serius, masalah garam kami jg serius, ini piring nasi kami. Kami bs sj sakit karena pandemi, tapi kami pasti melarat jika masalah garam kami tidak selesai, sebab ini piring nasi kami, piring nasi desa pesisir di empat kecamatan di kabupaten Bima.
Apa harapan kami di musim kemarau 2020 ini? Kami hanya meminta Ibu bupati untuk serius dan komitmen menyelesaikan maslah garam bima ini dimulai dgn "refresh" badan usaha daerah agar bs berbisnis dgn baik. Kami menuntut gubernur NTB agar jg fokus ke masalah garam kami. Kami jg bagian yg integral dari provinsi ini, tidak ada dikotomi soal itu. Program industrialisasi itu memang baik, akan lebih baik jika melibatkan petani agar tdk bersifat elitis. Kami jg berharap para wakil rakyat baik daerah dan maupun pusat, agar lebih aware, hadir dan duduk di serambi rumah petani agar tahu rasanya keluh dan kesah kami. Untuk wakil rakyat kami di pusat, datanglah ke sini, dengarkan tangisan kami, sampaikan bunyi denyut nadi hidup kami pada bapak menteri KKP. Tentu besar harapan kami, bisa bertatap muka dgn para wakil rakyat kami, kami percaya anda tidak datang kepada kami hanya saat musim pemilu sj. Buktikan anda ialah penyambung lidah kami, maka dengarkanlah suara kami dengan telinga langsung.
Sungguh, tulisan ini kami buat dalam keadaan dan musim terparah kami lalui. Garam kami tersimpan rapi, tanpa pembeli, tanpa harga yang manusiawi.
Entah sepeti apalagi kami harus bicara, kami bicara baik baik belum tentu didengar. Kata org kampung, "bicara dengan pelan tidak akan didengar, maka biacaralah dengan keras baru mereka dengar.(***)
No comments